Berawal dari liburan yang membosankan, seseorang dating yang membuat segalanya jadi berkesan. Adanya teman baru dari Papua, membuka wawasan Shela serta pelajaran hidup yang sangat penting yaitu bersyukur. ---- Semester 1 berakhir, dan libur telah tiba. Siapa saja pasti merasa bahagia saat libur telah tiba. Tapi tidak bagiku. Saat liburan, semua siswa berlibur ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Tapi tidak denganku. Siapa yang tidak kesal jika liburan tidak pergi ke mana – mana ? Hanya diam di rumah saja. Kegiatanku selama liburan hanya membuka e – mailku, membaca novel yang telah kubaca sampai puluhan kali, menonton televisi yang acaranya sangat tidak bermutu dan sebagai pembodohan masal (sebagian besar atau bahkan mungkin seluruh sinetron memiliki pemeran yang memperebutkan warisan, pacar atau anak, yang mungkin akan ditiru oleh masyarakat dan membuat mereka bertindak bodoh) dan berguling – guling di atas tempat tidur. Serasa tubuhku akan ditumbuhi oleh lumut jika terus berada di rumah sepanjang 2 minggu. Alangkah lebih baik jika orang tuaku memberi uang untuk sekedar cuci mata di mall. Tetapi, jangankan uang. Kunci mobil dan motor tidak di tinggalkan di rumah, karena orang tuaku ke kantor mulai jam 7 pagi hingga jam 7 malam. Hanya sarapan saja yang di tinggalkan di rumah. Tak ada kendaraan, tak ada uang. Bagaimana bisa berbelanja ? Bagaimana pula cara untuk menghilangkan kebosananku ? Sepertinya, aku satu – satunya siswa kelas 11 SMU berumur 16 tahun yang paling malang di dunia ini. Kasihannya diriku. Jika aku mengasihani diriku sendiri, bagaimana dengan orang lain ? Apakah mereka tak tahu bahwa aku adalah gadis yang menelan kebosanan sampai kenyang dan ingin muntah ? Malangnya nasibku. Sempat terlintas pula di benakku untuk bermain ke rumah temanku. Mungkin sekedar meminjam novel atau bermain game. Kedua kegiatan itu masih lebih baik daripada makan kue kering, lalu tidur siang selama 4 jam dii rumah, yang membuat pinggangmu bertambah tebal dua senti. Tapi, aku harus bermain ke rumah siapa ? Hania, Shanaz dan Keyza, sahabatku sedang menikmati liburannya masing – masing bersama keluarga mereka. Andaikan liburanku seperti Keyza, yang berlibur ke Bali dan mungkin saat ini ia sedang berputar – putar di Legian. Semoga saja jika pulang nanti, ia akan membawa oleh – oleh gelang dan kalung perak yang cantik untukku. Atau lebih baik aku seperti Shanaz ? Kakek nenek Shanaz berada di Jogja dan ia sedang berkunjung ke sana. Mungkin saat ini Shanaz sedang memborong ratusan barang di Malioboro. Lebih beruntung lagi kalau aku berlibur seperti Hania. Hania,anak seorang pejabat, berlibur ke Hawaii. Betapa enaknya. Pasti ia sedang menikmati jus nanas sambil berjemur di pantai saat ini. Tok…tok…tok. Suara pintu di ketuk. Aku yang sedang membuka internet terhenti seketika. Aku penasaran, siapa yang datang pukul 10 pagi ? Semoga saja temanku, yang akan menyelamatkanku dari bencana kebosanan. Tok…tok…tok. Sekali lagi, pintu di ketuk. Dengan rasa penasaran, aku menuju ke pintu depan dan membukanya. Begitu pintu terbuka, aku melihat sosok Mama dengan wajah lelah sedang berdiri di depan pintu. Mama sedang membawa sebuah ransel berwarna hitam, tetapi warnanya telah pudar. Sepertinya itu bukan ransel Mama. Lantas, ransel siapakah yang disandang oleh Mama ? Tidak pernah kulihat ransel itu di rumah. “ Ini bukan ransel Mama. Ini ransel Mike “ ucap Mama, seperti bisa membaca pikiranku. Mama masuk ke dalam rumah dan meletakkan tas itu di atas meja ruang tamu, sedangkan aku mengerutkan kening sambil menatap Mama. Mike ? Mike siapa ? Saudaraku ? Temanku ? Atau anak temannya Mama ? Tetapi, rasanya tidak seorangpun kenalanku yang bernama Mike. Apa yang di maksud Mama adalah Mike Tyson ? Hahaha, jelas tidak mungkin. Masa petinju kelas dunia akan berkunjung ke rumahku ? Mustahil. “ Selamat siang “ ucap Papa yang menyusul masuk ke dalam rumah. Aku semakin heran, melihat Papa membawa dua kantong plastik besar berisi buah – buahan. Apakah mereka dari pasar dan memborong banyak makanan ? Wah, boleh juga. Makanan untuk menghilangkan kebosananku. “ Shella, itu Mike “ Papa menunjuk sesosok anak laki – laki di depan pintu. Aku tercengang melihat sosok yang di tunjuk oleh Papa. Wah, siapakah dia ? Pasti dia berdarah Papua tulen, karena kulitnya hitam legam, rambutnya keriting dan badannya atletis. Baju yang dipakainya sangat kumal. Apakah dia memungut baju itu dari tempat sampah ? Atau baju itu tidak pernah di cuci ? Sepertinya ia sebaya denganku, namun wajahnya tidak pernah kulihat selama ini. Kalau tidak salah, Papa berkata bahwa namanya adalah Mike. Mike siapa ? Aku tidak pernah mengenalnya. Melihat mukanya saja baru sekali ini. “ Mike adalah anak dari kepala suku. Dia tinggal di pedalaman Papua. Mama sedang tugas lapangan di sana, jadi Mama mengajak Mike ke sini, karena Mike ingin jalan – jalan ke kota. Lagipula, Mama menjadi koordinator “kampung binaan” di kampung Mike selama satu tahun. Mama sudah kenal baik dengan kepala suku, maka itu kepala suku mengizinkan anaknya untuk melihat – lihat kota selama dua minggu. Kamu sedang liburan, Shell. Jadi, tidak ada salahnya kamu bermain dengan dia selama liburan. Dia bisa menjadi teman baikmu “ ucap Papa panjang lebar, seolah bisa membaca semua yang ada di otakku. Aku memandang Mike dengan berbagai macam “rasa”,celakanya semua rasa itu yang negatif-negatif deh !!!!. Masa aku harus berlibur bersama dia ? Oh, tidak. Ternyata ada hal yang lebih buruk daripada mengisi liburan dengan berguling – guling di tempat tidur, yaitu berlibur dengan Mike. Aku berlibur dengan anak yang baru keluar dari pedalaman???? Alias dari hutan ??? Apa kata dunia dan teman – temanku usai liburan kelak ? Sumpah, ini akan jadi liburan terburukku (hatiku tak henti memproduksi negatif “thingkingnya”. “Shell, ajak Mike masuk “ Papa berkata dengan lembut sambil menepuk bahuku. Aku tersentak !!! Setelah berkata demikian, Papa mengangkat kantung plastik berisi buah dan mengangkatnya ke dapur. Itu pasti buah – buahan dari keluarga Mike. Aku memandang Mike sambil menggigit bibir dan memasukkan kedua tanganku ke dalam saku. Setahuku, anak yang berkulit hitam dan tinggal jauh di tengah hutan tidak dapat berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Mereka menggunakan bahasa adat mereka sendiri. Apa yang harus kulakukan untuk mengisi liburan dengan anak yang tidak bisa di ajak berbicara dengan bahasa Indonesia ? Saat aku mengenakan pakaian abu – abu putih dengan membawa setumpuk buku di dalam tas untuk ke sekolah dengan tujuan belajar. Ehm…ralat. Untuk bertemu, tertawa, bergossip dan bercanda bersama teman – temanku kembal , apa yang akan kugosipkan mengenai liburanku?? Ya Tuhan malang benar aku ini!!. “ Namaku Mikael David. Cukup di panggil Mike “ ucap si hitam itu sambil mengulurkan tangannya. Aku tidak membalas uluran tangannya. Bukan karena enggan berjabat tangan dengannya, tapi karena aku sedikit kaget. Aku meralat ucapanku tentang suku – suku berkulit hitam yang jauh di pedalaman sana tidak bisa berbahasa Indonesia. Justru Mike baru saja mengenalkan diri dengan bahasa Indonesia yang sangat sempurna. “ Namamu siapa ? “ tanya Mike sambil menurunkan tangannya. Sepertinya ia tahu bahwa aku enggan berjabat tangan dengannya. Aku hanya tersenyum kecil. Aku mempunyai ide untuk menanyakan beberapa hal yang kira – kira tidak bisa di jawab oleh Mike. Entah mengapa, aku ingin terlihat hebat di depan anak kepala suku ini. Dimanapun tempatnya, entah di Jawa, Kalimantan, bahkan luar negeri, anak seorang pemimpin pastilah sombong. Menurutku, Mike termasuk dalam golongan anak – anak sombong dan sok. Akan kubuktikan, bahwa di dunia ini masih banyak yang lebih hebat dari Mike, anak kepala suku. Aku bukan anak presiden atau anak kepala suku. Tapi, akan kubuktikan bahwa aku adalah Shella, seorang bintang yang terbaik. Dia harus tahu, bahwa hidup di kota tidaklah mudah, walaupun dia anak seorang pemimpin. Hidup di kota harus punya wawasan yang luas. Aku ingin tahu wawasan seseorang yang tinggal di pedalaman sana. Apalagi wawasan anak kepala suku. “ Namaku Shella. Nama lengkapku Shella Dian Pradipta. Umurmu berapa ? “ tanyaku. Setahuku lagi, orang – orang di pedalaman sana tidak mengenal huruf. Apalagi angka. Kecerdasannya sudah di atas rata – rata jika ia sudah mengenal huruf dan angka. “ Umurku 15. Berapa umurmu ? “ tanya Mike. Aku membelalakkan mata. Selain tahu angka dan huruf, susunan bahasanya juga sempurna. Boleh juga kecerdasannya. “ Umurku enam belas “ jawabku dengan nada datar. Ternyata anak kepala suku ini juga berotak cerdas. “ Berarti kau lebih tua dariku, ya ? Aku harus panggil kakak atau… “ “ Panggil saja Shella. Terima kasih “ ucapku memotong kata – katanya sambil tersenyum. Mike ternyata pintar. Ia jauh lebih baik dari yang kubayangkan sejak melihat wajahnya untuk pertama kali. TENG ! TENG ! TENG ! Suara lonceng penjual es krim terdengar melintasi kompleks perumahanku. Aku melihat tampang Mike yang menoleh ke kiri dan kanan, seakan mencari sesuatu. “ Apakah yang kita dengar adalah suara lonceng gereja ? “ tanya Mike polos sambil menatap wajahku. Hampir saja aku tergelak mendengar kata – kata Mike. Walau berpendidikan, ternyata Mike tak tahu apa – apa tentang dunia yang jauh lebih canggih. “ Itu suara penjual es krim “ jawabku. “ Es krim ? “ Mike semakin heran. “ Iya. Es krim. Kau mau ? “ tanyaku. “ Apa itu es krim ? “ tanyanya kembali. Aku sedikit kaget, karena ternyata es krim pun dia tak tahu. Tapi, cepat kubuang jauh pikiran itu. Wajar saja ia tak tahu. Di pedalaman sana pasti tidak ada televisi yang menampilkan gambar es krim. Radio pun di jamin pasti tidak ada. “ Makanan. Rasanya enak “ jawabku sambil masuk ke dalam kamar. Saat keluar, aku membawa selembar uang dua puluh ribu untuk membeli es krim. “ Makanan ? Seperti kasbi atau papeda ? “ tanyanya kemudian, masih dengan wajah polos. Sekali lagi, aku hampir tergelak. Dasar ! Es krim yang begitu umum saja dia tak tahu. Apakah yang dia tahu hanya kasbi dan papeda saja ? Benar – benar konyol. “ Sudahlah, ayo kita rasakan bagaimana enaknya es krim “ ucapku sambil melangkah keluar. Mike yang melihatku berjalan keluar, segera mengikuti langkahku dari belakang. Begitu tiba di luar, aku segera memanggil penjual es krim. Penjual yang mendengar panggilanku segera menjalankan motornya menuju ke arah rumahku. Aku membuka pintu pagarku dan menuju ke tempat parkir motor si penjual es krim. Mike mengikuti langkahku dengan polosnya. Ketika penjual es krim membuka penutup boks yang berisi es krim, Mike sedikit menjauh dari si penjual es krim. “ Dingin “ ucapnya sambil menatap es krim dengan pandangan jijik. Aku menahan senyum saat melihat tingkah Mike. “ Rasanya enak. Ambil saja satu “ ucapku. “ Makanan ini sangat dingin “ ucapnya sambil menatap es krim dengan pandangan khawatir, seolah es krim ini adalah sebotol racun arsenik. “ Dingin, tapi enak. Lihatlah “ aku berkata sambil mengambil sebungkus es krim rasa strawberry. Begitu es krim itu ada di tanganku, aku segera membukanya, memegang tangkai es krim dan menjilat es krim itu. Siang hari yang panas terik sambil makan es krim memang sangat nikmat. Mike menatapku yang sedang menjilat es krim sambil tersenyum. “ Enak, ya ? “ tanya Mike. Aku menganggukan kepala. Ia segera mengambil sebungkus es krim lagi. Es krim yang di ambilnya berwarna putih. Rasa vanilla. Sepertinya ia asal mengambil es krim itu. Tapi biarlah. Yang penting, ia sudah merasakan betapa enaknya menjilat es krim di siang terik ini. Nikmatnya tak terkatakan. “ Berapa, Pak ? “ tanyaku pada si penjual. “ Yang strawberry enam ribu. Yang vanilla tiga ribu “ ucap si penjual es krim. Aku mengulurkan uang dua puluh ribu pada si penjual. Si penjual menerima uangku dan mengambil selembar sepuluh ribu dan dua keping uang lima ratus dari dalam tas pinggangnya, lalu memberikannya padaku. Usai mengucapkan terima kasih, si penjual menyalakan mesin motor dan menjalankan motornya sambil membunyikan lonceng khas penjual es krim. “ Memangnya es krim ini di beli ? Bukan di berikan oleh dia ? “ tanya Mike heran. Aku mengerutkan kening. Apakah dia tidak tahu bahwa barusan yang terjadi di depan matanya adalah salah satu contoh dari transaksi jual beli ? Oh, mungkin dia belum pernah belajar ekonomi, jadi dia tidak tahu pengertian dan kegunaan uang. “ Di beli, Mike “ jawabku. “ Mengapa di beli ? Bukankah sesama manusia harus saling membantu ? Mengapa pula kita harus mengharapkan uang jika menginginkan sesuatu ? “ ujar Mike sambil menjilat es krimnya. Aku memutar bola mataku. Betapa susahnya menjelaskan sesuatu ke orang seperti Mike. Tapi wajar saja ia berkata demikian, karena mungkin di pedalaman sana mereka tidak mengenal uang. Mereka hanya mengenal barter. Berarti, masih ada pula yang menerapkan sistem ekonomi tradisional. “ Setiap orang membutuhkan uang. Jika ia menjajakan es krim dan kau menginginkan es krim, maka kau harus menyerahkan uang dulu sesuai harga es krim ke si penjaja. Setelah kita memberikan uang, mungkin si penjaja ingin membeli nasi. Ia membeli nasi di sebuah warung dan harus mengeluarkan uang. Mike, kita bergantung pada uang. Tanpa uang, kau tidak bisa makan “ ucapku panjang lebar sambil membuka pagar rumahku. Aku masuk lebih dahulu. Mike mengikuti langkahku dari belakang. Setelah ia masuk, aku mengunci pintu pagar, lalu berjalan ke teras. “ Berbeda denganku dan tetanggaku. Jika ingin makan dan persediaan makanan di rumah habis, kita pasti minta ke tetangga. Mungkin tetangga itu memberikan kasbi, papeda, keladi atau daun singkong. Esok harinya, kita mengambil hasil kebun milik kita, lalu memberikan sebagian hasil kebun ke tetangga yang telah membantu kita sebelum hasil kebun itu di jual. Itu sebagai tanda terima kasih dan berbalas budi karena mereka telah memberikan kita makanan “ jelas Mike, yang membuatku ingin muntah. Zaman sudah modern, masih berharap ke tetangga. Dasar masyarakat pedalaman. Aneh banget, gumamku dalam hati. “ Darimana kau dapatkan teori itu ? “ tanyaku. “ Teori apa ? “ tanya Mike kembali. “ Teori untuk saling membantu atau memberi makan ke sesama tetangga “ jelasku. “ Tentu saja dari rasa kasih sayang. Agama mengajari kita untuk saling berbagi. Bukankah sesama manusia juga saling membutuhkan ? Aku pun belajar dari teori nasionalisme. Kita sebagai masyarakat Indonesia yang beragama, tentunya tidak berpikiran egois. Masih banyak manusia yang harus kita pikirkan selain diri kita sendiri “ ucap Mike. Tanpa sadar, ucapan Mike membuat tenggorokanku merasa tertohok dan perutku melilit. Apakah dia menyindirku ? Tetapi, kurasa ia tidak bermaksud menyindirku, karena wajahnya masih menunjukkan kepolosan. “ Masuk, Mike “ ucapku sambil membuka pintu rumahku. Ketika Mike akan melepas sandal, ia merasa betisnya di jilat oleh sesuatu. Mike menoleh dan tersenyum girang melihat Boni, anjingku sedang menjilat betisnya. “ Itu Boni, anjingku “ ucapku sambil menutup pintu rumah. Kurasa Mike tidak ingin masuk. Ia ingin bermain dengan Boni. Ternyata dugaanku benar. Tangan kanan Mike memegang es krim, sedangkan tangan kirinya mengelus kepala Boni. Ekor Boni bergoyang – goyang. Syukurlah, Boni menyukai Mike. Jika ekor Boni bergoyang – goyang, berarti Boni memang suka pada Mike. “ Anjingmu lucu “ ucap Mike. “ Tentu saja “ jawabku sambil bersandar pada tiang penyangga atap di teras sambil menjilat es krimku. Aku memandang Mike dengan penasaran, apa gerangan yang akan ia lakukan dengan anjingku ? “ Kau pernah memberikannya es krim ? “ tanya Mike sambil menunjuk ke arah Boni. Aku menggelengkan kepala. “ Buat apa kuberikan dia es krim ? Belum tentu anjing suka es krim. Lagipula, aku sudah punya makanan khusus untuk anjing “ kataku datar. “ Sayang sekali. Aku ingin tahu, anjing suka es krim atau tidak “ ucap Mike. Mike menggigit es krimnya, lalu meludahkan es krim gigitannya ke lantai teras. Sebongkah es krim berwarna putih di lantai terasku, di jilat oleh Boni sampai habis. Lantai terasku terlihat licin karena es krimnya telah habis di jilat oleh Boni. “ Hei, anjing juga suka es krim “ ucapnya sambil mengelus kepala Boni sambil tertawa girang. Aku hanya tersenyum tipis dan menggeleng – gelengkan kepala. Mike, seorang berkulit hitam yang terlihat seperti seseorang tidak tahu apa – apa, tapi sebenarnya pendidikan, imajinasi dan rasa nasionalismenya tinggi. Kurasa, dia teman yang cukup baik untukku. Sore ini, Mama mengajakku dan Mike ke pantai Pasir Putih. Rasanya, sudah ratusan kali aku berkunjung ke sana. Pemandangannya juga tak pernah berubah.Yang terlihat selalu pasir, laut, pohon kelapa dan jejeran pedagang serta pengunjung pantai. Tak ada yang istimewa sore ini. Perasaanku biasa saja saat tiba di sana. Tetapi, kontras sekali dengan Mike, yang sangat girang melihat laut yang berpadu padan dengan sinar matahari yang memantul di laut. Mike sangat gembira dan memandang sekeliling pantai dengan mata berkilat, seperti Celine Dion menatap para penggemarnya dengan mata berkilat. Mike sudah membuka baju dan siap untuk berenang, namun Mama mengajakku dan Mike untuk mencari tempat duduk lebih dahulu. Setelah mendapati tempat duduk di bawah pohon beringin, aku meletakkan rantang berisi makan siang yang kubawa. Mama menggelar tikar dan meletakkan tas berisi pakaian milik Mike dan meletakkan wadah berisi makan siang di atas tikar. Setelah tahu bahwa semua beres, Mike segera terjun ke laut sambil berteriak senang. Aku memandanginya dengan tatapan heran. Mengapa dia begitu bahagia melihat laut yang tidak ada perubahan sama sekali dari tahun ke tahun ? Oh, iya. Aku ingat, kalau Mike tinggal di hutan daerah pegunungan. Berarti dia belum pernah melihat laut ? Dan berarti pula ini pertama kalinya Mike berenang di laut ? Pantas saja ia gembira melihat laut untuk pertama kalinya. Usai berenang, Mike segera menuju ke tempat kami menggelar tikar. Tanpa malu, ia mengambil piring dan mengambil tiga centong nasi dari rantang. Lalu mengambil dua sendok besar oseng kacang panjang, sebuah paha ayam dan tiga buah telur rebus. Aku sedikit tercengang melihat porsi makan Mike. Astaga, porsi makannya seperti porsi makan sapi. Apakah perutnya tidak sakit jika makan terlalu banyak ? Mike yang sadar bahwa sedari tadi kuperhatikan, menoleh ke arahku dan menyodorkan piringnya. “ Mau ? Kita makan berdua saja “ ucapnya sambil mengambil sebuah sendok lagi untukku. Sebelum ia mengambil sendok, aku menggelengkan kepala. “ Tidak usah, terima kasih. Aku hanya kaget, ternyata porsi makanmu banyak juga “ ujarku. Mike memasukkan sesendok nasi ke mulutnya, meski nasi yang telah di masukkan lebih dulu belum tuntas di telannya. Caranya menikmati makanan seperti menunjukkan bahwa ia belum makan selama seminggu. “ Bagaimana rasa masakan Mamaku ? “ tanyaku pada Mike. Mike mengacungkan jempolnya. “ Makanannya enak, ya. Tapi aku lebih suka papeda. Sesuai dengan budayaku “ ucap Mike. “ Mike, tata bahasamu sangat rapi. Kau bersekolah, ya ? “ tanyaku. “ Iya “ jawab Mike. Aku tidak kaget mendengar jawaban Mike, karena tugas lapangan Mamaku selama dua bulan yang lalu adalah mengumpulkan data di daerah tempat tinggal Mike. Mama mengisi waktu luangnya dengan menjadi guru di daerah tempat tinggalnya Mike. Syukurlah, Mike menjadi cerdas. Aku senang sekali mempunyai Mama yang dengan sukarela menjadi guru. “ Sekolahku terbuat dari papan. Kami sendiri yang membangun sekolah itu. Papan itu kami paku, lalu atapnya kami buat dari jerami dan rumput atau daun kering. Bagus sekali “ sahut Mike. Aku terdiam, merenungkan cerita Mike. Di daerah tempat tinggal Mike sudah didirikan sekolah. Pasti anak – anak di sana sangat pintar. Pikiran mereka pasti maju pesat. Buktinya, tata bahasa Mike sangat baik, meski masih ada logat Papuanya. Sekolah mereka pasti bagus. Sayangnya, sarananya kurang memadai. Tapi, suatu saat pasti sekolah mereka bisa menjadi sekolah yang bagus. “ Tapi, dua bulan ini, aku dan teman – temanku sudah tidak sekolah lagi “ tambah Mike. Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. “ Maksudmu ? “ tanyaku. “ Kepala suku desa sebelah menghancurkan sekolahku karena kepala suku desa sebelah berkata bahwa sekolah tidak penting. Kita sudah bisa berdagang sayur, buah – buahan dan lain sebagainya dari hasil kebun kita ke pasar. Sekolah hanya membuang waktu. Tapi, menurutku sekolah itu penting. Kalau tidak sekolah, mungkin kita bisa di tipu di pasar jika tidak bisa menghitung. Tapi kepala suku desa sebelah ingin membenarkan pendapatnya sendiri. Ia menghancurkan sekolah kita. Aku ingin ayahku melawan kepala suku desa sebelah, tapi ternyata kita tidak bisa berbuat apa – apa. Tanah tempat di bangunnya sekolah itu adalah tanah milik desa sebelah. Budaya kami mengajarkan bahwa tanah milik suku lain tidak bisa dijadikan wilayah suku kita. Jadi, aku sudah tidak bersekolah lagi saat ini karena tanah itu sudah di rebut oleh kepala desa sebelah. Aku berharap, aku bisa sekolah kembali “ jelas Mike panjang lebar. Aku memanggut – manggut. Aku merasa iba dengan mereka. Ternyata, di dunia ini masih ada yang bernasib lebih buruk dariku. Penilaianku terhadap diriku sendiri terlalu hiperbola. Bagaimana tidak hiperbola jika hanya mempermasalahkan liburan ? Kehidupanku ternyata lebih sempurna. Aku memiliki mobil, motor, jam tangan, handphone, bisa berjalan – jalan ke luar kota, memiliki buku pelajaran, bisa bersekolah dan masih banyak hal yang ada pada kehidupanku, tapi tidak dimiliki Mike. “ Shella, ada apa denganmu ? Kuajak bicara, kau tidak menanggapi “ Mike berkata sambil menelan nasinya. Aku menghembuskan nafas panjang. “ Mike, di rumahku banyak buku pelajaran yang tidak terpakai. Aku ingin memberikannya padamu. Boleh ? “ tanyaku. Mata Mike berbinar, lalu mengangguk. “ Terima kasih, Shell “ ucapnya. KLING…KLING…KLING !! Terdengar suara penjual gorengan lewat di belakang tempat kami duduk. Mike, yang sedang menikmati makanannya, menoleh memperhatikan penjual gorengan mendorong gerobaknya dengan wajah dan benak penuh tanda tanya. “ Kau mau ? “ tanyaku sambil menunjuk penjual gorengan. “ Apa itu ? “ tanyanya kembali dengan wajah polos, membuatku tersenyum geli. “ Gorengan. Rasanya enak “ ucapku sambil berdiri dan memanggil penjual gorengan. Penjual itu berhenti dan menoleh ke arahku, lalu mendorong gerobaknya ke arahku. Aku meminta uang pada Mama yang sedang membaca novel Agnes Jessica. Mama memberiku selembar uang sepuluh ribu. Aku memanggil penjual gorengan setelah mendapatkan uang. Si penjual yang mendengar teriakanku, menghentikan gerobaknya. Aku mengajak Mike ke sana.. “ Kita membeli gorengan ? Bukan diberi oleh orangnya ? Tidak, aku tidak ingin mengeluarkan uang. Kita harus hemat “ tolak Mike dengan halus. Aku meringis, lalu menarik tangan Mike ke penjual gorengan secara paksa sampai di hadapan si penjual. Penjual gorengan itu membuka kotak tempat di simpannya gorengan. “ Kau harus merasakan gorengan. Rasanya nikmat “ ucapku sambil mengambil dan memberikan sepotong tahu isi pada Mike. Mike memandang tahu isi dengan tatapan aneh, seolah tahu isi adalah alien dari luar angkasa yang belum pernah dilihatnya. “ Makanlah. Lezat sekali “ aku berkata sambil mencomot sepotong lumpia dan memasukkan beberapa gorengan ke dalam plastik. Usai memasukkan dan menghitung jumlahnya, aku memberi uang pada si penjual. Si penjual mengucapkan terima kasih, lalu berjalan sambil mendorong gerobaknya kembali. “ Wah, makanan ini ada isinya ! “ teriak Mike, membuatku kaget. Sudah kukatakan, bukan ? Kalau nama makanan itu adalah tahu isi. Kalau namanya tahu isi, tentu saja ada isinya. Mike benar – benar polos dan lucu. “ Ini wortel, ya ? Wah, ada sayur yang lain juga “ ucapnya dengan nada heran. Aku tertawa melihat tingkah Mike yang baru kali ini makan tahu isi. “ Shella, bagaimana caranya bisa memotong wortel sampai sekecil ini ? “ tanya Mike sambil mengulurkan sepotong kecil wortel berbentuk dadu ke arahku. “ Pakai pisau, Mike “ ucapku. “ Pisau ? “ tanyanya kembali. “ Sudahlah, akan kutunjukkan sebuah pisau saat tiba di rumah nanti “ kataku. “ Apa ini ? “ tanyanya sambil mengambil pisang goreng dari dalam tas plastik, usai menghabiskan tahu isinya. “ Pisang goreng “ jawabku. “ Ini bukan pisang. Tidak ada kulitnya “ ucapnya menghakimi. “ Pisang diolah dan menjadi seperti ini “ ucapku gemas. Mike masih bertanya tentang gorengan – gorengan lainnya dengan nada polos. Mike menikmati gorengan di dalam kantong plastik, lalu berkomentar macam – macam. Ada yang terlalu asin, rasanya aneh, isi dari gorengan sangat beragam dan lain sebagainya. “ Apakah ada penjual papeda di sini ? “ tanya Mike. Aku menggelengkan kepala. “ Kau suka papeda ? “ tanyaku. “ Sangat suka “ jawabnya. “ Tapi di sini jarang ada yang menjual papeda. Hanya sagu yang belum di olah menjadi papeda “ “ Aku bisa membuat papeda sendiri “ ucap Mike. “ Benarkah ? “ “ Tentu “ jawab Mike. “ Ajarkan aku “ ucapku. “ Baiklah “ jawab Mike. Aku menghembuskan nafas lega. Sepertinya, liburanku selama dua minggu lagi akan terasa lebih indah dengan kehadiran Mike. Mungkin kelak jika Shanaz, Hania dan Keyza pulang nanti, mereka akan bercerita tentang Jogja, Bali dan Hawaii. Mereka pasti merasa bahagia di sana. Tapi, apakah aku juga akan bahagia jika berlibur bersama Mike, si pendatang asing dari pedalaman ? Tanpa sadar, otakku menggumamkan kata – kata yang entah dari mana munculnya. Kata – kata yang sangat istimewa. Aku segera merogoh buku notes di dalam tas kecil yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Bukan apa – apa aku membawanya, hanya saja aku suka menulis kata – kata pembangkit semangatku jika aku baru saja mengalami kejadian yang membuat aku sadar dari kesalahan yang pernah kubuat. Jika tidak kutulis sekarang, pasti nantinya aku akan lupa dengan kata – kata yang ingin kutulis. Lebih baik kutulis sekarang saja. Aku segera mengambil buku kecil dan bolpoinku, lalu menulis kata – kata yang terlintas di benakku. Kau akan berhenti mengeluh tidak di belikan sepatu baru jika kau berjalan bersama orang yang tak punya kaki. Bersyukurlah kawan, jika kau tahu bahwa kau bukan seseorang paling malang di dunia ini. Masih banyak mereka yang seharusnya lebih dikasihani selain dirimu. Aku tersenyum memandang kata – kata yang baru kutulis itu. Benar sekali. Masih banyak orang yang lebih malang daripada aku di dunia ini. Buat apa aku mengeluh saat ini, jika di sampingku telah duduk seorang anak yang nasibnya jauh lebih malang dariku. Seseorang yang tidak punya sekolah dan bersusah payah untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Bukankah mendapat pendidikan yang layak adalah salah satu hak dari kita, warga Indonesia ? Tapi sayangnya, Mike belum bisa memenuhi haknya secara sempurna. Bahkan selain Mike, masih banyak orang yang nasibnya lebih malang selain diriku yang merasa sial hanya karena liburan di rumah. Masih ada yang menjadi TKW secara paksa dan disiksa oleh majikannya. Masih banyak yang terlunta – lunta di kolong jembatan. Masih banyak yang mengais makanan di tempat sampah. Seharusnya aku bersyukur. Terkadang, kita merasa terhempas dari keberuntungan. Hidup memang suka bercanda dan mempermainkan manusia. Tapi, tak perlu di sesali apa yang terjadi di hidup kita. Kita akan menikmatinya dan dalam hati kita akan merasa pasti, dan tidak ada sesuatu yang perlu kita sesali. *** Sepenggal tulisan di buku notes Shella : ORANG BIJAK DAN SEKARUNG TOMAT Seorang bijak menyuruh anak muridnya memasukkan tomat ke dalam karung, sesuai dengan jumlah kesialan yang pernah di alami anak muridnya. Ada yang memasukkan 10 buah tomat, bahkan 50 buah tomat ke dalam karung, karena mereka menganggap bahwa mereka adalah orang yang patut di kasihani akibat kesialan yang menimpa mereka. Tapi, untuk anak muridnya yang selalu bersyukur, tidak memasukkan tomat sama sekali ke dalam karung. Si bijak berkata bahwa mereka harus membawa karung berisi tomat yang mereka anggap kesialan itu kemanapun mereka pergi. Awalnya, murid yang mengisi karungnya dengan tomat merasa nyaman membawa tomat itu kemana – mana. Tapi, begitu waktu berlalu, tomat mulai membusuk dan mengganggu mereka. Anak muridnya diam – diam membuang tomat satu persatu, dan lama kelamaan, mereka telah membuang semua tomat . Dengan membuang semua tomat, mereka merasa ringan. Kehidupan pun begitu. Terasa ringan jika kita selalu bersyukur dengan menerima pemberian Tuhan apa adanya, tanpa menyinggung bahwa kita orang paling sial di dunia ini.
0 comments:
Posting Komentar